Terakhir diperbarui: 26 November 2025

Citation (APA Style):
Davacom. (2025, 26 November 2025). Falsifikasi Karl Popper: Prinsip dan Penerapan. SumberAjar. Retrieved 26 November 2025, from https://sumberajar.com/kamus/falsifikasi-karl-popper-prinsip-dan-penerapan 

Kamu menggunakan Mendeley? Add entry manual di sini.

Falsifikasi Karl Popper: Prinsip dan Penerapan - SumberAjar.com

Falsifikasi Karl Popper: Prinsip dan Penerapan

Pendahuluan

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, muncul kebutuhan untuk membedakan dengan jelas antara teori atau klaim yang benar-benar ilmiah, dengan klaim yang bersifat spekulatif, metafisik, atau pseudoscience. Di tengah kebutuhan itu, filosof dan ilmuwan seperti Karl Raimund Popper menawarkan paradigma yang radikal: daripada mencari kebenaran melalui verifikasi (pembuktian kebenaran), lebih masuk akal untuk menilai teori melalui kemampuannya untuk diuji dan, jika mungkin, disangkal. Prinsip ini dikenal sebagai falsifikasi.

Dalam artikel ini, akan dibahas pengertian falsifikasi menurut berbagai sumber, secara umum, dalam perspektif kamus, dan menurut para ahli, serta prinsip dasar falsifikasi seperti yang digagas Popper, lalu penerapan konseptualnya di berbagai bidang, dan refleksi kritis terhadap keterbatasannya.


Definisi: Falsifikasi

Definisi Falsifikasi Secara Umum

Falsifikasi pada hakikatnya adalah konsep dalam epistemologi dan filsafat ilmu, yaitu gagasan bahwa suatu teori atau pernyataan dianggap ilmiah jika dan hanya jika teori atau pernyataan itu bisa diuji dan berpotensi dibuktikan salah. Sebaliknya, jika teori dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada kondisi pengujian yang memungkinkan untuk menolak teori itu, maka teori tersebut bukanlah teori ilmiah. Dengan demikian, falsifikasi menjadi kriteria penting untuk membedakan antara ilmu dan non-ilmu. [Lihat sumber Disini - en.wikipedia.org]

Dengan pendekatan ini, ilmu pengetahuan bukan soal membuktikan benar (verifikasi), melainkan tentang mengeliminasi kesalahan, melihat teori sebagai hipotesis sementara yang selalu terbuka terhadap revisi bila terbukti salah. [Lihat sumber Disini - journal.lppmunindra.ac.id]

Definisi Falsifikasi dalam KBBI

Dalam konteks bahasa Indonesia, jika merujuk pada definisi harfiah “falsifikasi”, kata ini sering diartikan sebagai “pemalsuan”, yaitu proses membuat sesuatu seolah-olah benar padahal palsu. Namun dalam konteks filsafat ilmu, arti “falsifikasi” berbeda: bukan pemalsuan, melainkan penyangkalan, pengujian untuk menyanggah teori.

Meskipun demikian, dalam literatur filosofi dan metodologi ilmiah di Indonesia, istilah “falsifikasi” telah diadopsi persis dalam arti epistemologis sebagaimana yang dikemukakan Popper, yaitu sebagai kriteria demarkasi sains. Misalnya dalam artikel metodologi pendidikan dan filsafat ilmu, falsifikasi disebut sebagai dasar untuk berpikir kritis, reflektif, dan terbuka terhadap revisi. [Lihat sumber Disini - ejournal.staimadiun.ac.id]

Definisi Falsifikasi Menurut Para Ahli

Beberapa ahli dan penelitian modern di Indonesia dan internasional telah menjelaskan definisi dan makna falsifikasi, terutama dalam kerangka filsafat ilmu dan aplikasinya:

  • Fungsi falsifikasi sebagai kriteria demarkasi sains: menurut Popper, teori ilmiah harus memiliki potensi falsifiers, artinya harus membuat prediksi yang memungkinkan untuk diuji dan disangkal. Jika teori mampu bertahan setelah serangkaian pengujian berisiko (risky predictions), maka teori tersebut dianggap “terkonsolidasi” (corroborated), meskipun tidak pernah bisa dibuktikan benar absolut. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]
  • Falsifikasi sebagai alternatif terhadap verifikasi dan induksi: banyak tradisi positivisme dan empirisme berpendapat bahwa teori ilmiah dikukuhkan melalui verifikasi (observasi yang mendukung) atau generalisasi induktif. Popper menolak metode ini, karena baginya, universalitas (misalnya “semua swan itu putih”) tidak bisa dibenarkan secara definitif melalui observasi terbatas, tetapi bisa dibantah oleh satu contoh yang kontradiktif. [Lihat sumber Disini - plato.stanford.edu]
  • Falsifikasi sebagai fallibilisme kritis: menurut interpretasi kontemporer atas pemikiran Popper, teori ilmiah tidak pernah mencapai kebenaran final, mereka hanya bersifat sementara, rentan terhadap revisi, dan harus selalu terbuka terhadap kritik dan pengujian ulang. [Lihat sumber Disini - ojs.unsiq.ac.id]
  • Kriteria demarkasi: falsifikasi menawarkan cara untuk membedakan antara sains (empiris, dapat diuji) dengan metafisika, pseudoscience, atau dogma, yaitu dengan melihat apakah klaim tersebut bisa dibuat prediksi yang berisiko dan diuji secara empiris. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

Prinsip Dasar Falsifikasi ala Karl Popper

Setelah memahami definisinya, berikut prinsip-prinsip mendasar falsifikasi sebagaimana dikembangkan oleh Karl Popper:

1. Teori ilmiah harus falsifiable (dapat disangkal).
Menurut Popper, sifat mendasar dari sains adalah bahwa teori harus memberikan prediksi empiris yang bisa diuji, dengan kemungkinan prediksi itu salah. Jika teori tidak memungkinkan untuk diuji sedemikian rupa (misalnya terlalu fleksibel, bisa dijustifikasi dengan ad hoc), maka ia bukan teori ilmiah. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

2. Demarkasi antara sains dan non-sains/pseudoscience.
Popper mengusulkan falsifikasi sebagai kriteria demarkasi: membedakan teori ilmiah dengan klaim metafisik, teologis, atau pseudoscientific. Teori yang tidak memungkinkan diuji (non-falsifiable) tetap bisa bermakna, tetapi tidak bisa dianggap sains. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

3. Epistemologi fallibilisme, tidak ada kebenaran final.
Menurut pendekatan Popper, tidak ada teori ilmiah yang bisa diklaim benar secara absolut. Bahkan teori yang telah bertahan dari banyak uji, hanya bisa dianggap “belum falsified yet”, bukan “terbukti benar”. Ilmu pengetahuan bersifat sementara dan terus berkembang seiring pengujian dan kritik. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

4. Metode ilmiah sebagai proses conjecture and refutation (dugaan dan penolakan).
Popper menggambarkan bahwa kemajuan sains terjadi melalui proses: teori diajukan sebagai dugaan (conjecture), kemudian diuji secara kritis, mencari potensi kesalahan, dan bila salah, teori direvisi atau diganti. Ini berbeda dengan metode klasik yang berusaha membuktikan atau mengumpulkan data untuk memperkuat teori. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

5. Keberanian prediksi “berisiko” (risky predictions).
Teori ilmiah yang baik menurut Popper adalah teori yang membuat prediksi berisiko, prediksi yang jika ternyata salah, berarti teori harus dibuang atau diperbaiki. Teori yang terlalu aman atau fleksibel (yang bisa menelan semua pengamatan) bukan ilmu. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]


Penerapan Falsifikasi dalam Berbagai Bidang

Dalam Ilmu Alam dan Sains Umum

Dalam ranah sains alam, prinsip falsifikasi mendorong ilmuwan untuk merumuskan hipotesis yang jelas, tegas, dan dapat diuji, misalnya prediksi tentang fenomena fisik, biologi, atau astronomi. Suatu teori dianggap ilmiah jika memungkinkan diuji dan potensi falsifikasinya ada. Jika setelah pengujian intensif teori tetap bertahan, maka teori tersebut dianggap kuat (corroborated), meskipun tidak pernah bisa dinyatakan benar dengan absolut. Pendekatan ini membantu ilmu agar tidak stagnan dan terus berkembang melalui kritik dan revisi. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

Dalam Ilmu Sosial, Hukum, dan Humaniora

Falsifikasi juga telah diterapkan di bidang hukum, sosial, maupun humaniora, terutama ketika para peneliti ingin menguji apakah sebuah teori, konsep, atau model benar-benar “ilmiah” atau tidak. Misalnya, dalam kajian hukum dan teori sosial, ada penelitian yang mencoba menguji teori dengan standar falsifikasi: jika teori sosial/hukum tidak memungkinkan diuji atau tidak menawarkan prediksi empiris yang bisa diuji, maka teori tersebut mungkin lebih cocok dikategorikan sebagai norma, metafisika, atau pandangan filosofis, bukan ilmu. [Lihat sumber Disini - jurnal.stiq-amuntai.ac.id]

Salah satu contoh: artikel yang menguji apakah teori hukum progresif memenuhi kriteria ilmiah menurut falsifikasi, dan hasilnya menunjukkan bahwa jika inti teori tidak falsifiable, maka dianggap non-ilmiah (atau pseudoscience), meskipun tetap bisa berperan dalam wacana normatif maupun filosofis. [Lihat sumber Disini - jurnal.stiq-amuntai.ac.id]

Dalam Pendidikan, Literasi, dan Penalaran Kritis

Dalam konteks pendidikan dan literasi, misalnya di Indonesia, falsifikasi dianggap relevan untuk membentuk cara berpikir kritis, reflektif, dan sistematis, tidak hanya menjadi “konsumen informasi”, tetapi juga “produsen konten” yang mampu mengajukan hipotesis, menguji argumen, dan terbuka terhadap revisi. [Lihat sumber Disini - journal.lppmunindra.ac.id]

Pendekatan ini membantu mencegah dogmatisme, pseudoscience, dan klaim kebenaran absolut tanpa pengujian. Hal ini juga memungkinkan perkembangan pengetahuan yang lebih sehat dan dinamis, karena setiap teori atau klaim bisa dipertanyakan dan diuji. [Lihat sumber Disini - researchgate.net]

Dalam Konteks Pemikiran Keagamaan atau Filosofis

Meskipun falsifikasi ditujukan terutama untuk ilmu empiris, beberapa penelitian mencoba menerapkan prinsip Popper dalam kajian agama, hukum Islam, atau pemikiran metafisik, dengan tujuan melihat apakah klaim-klaim tertentu bisa diuji secara objektif atau kritis. Contohnya, ada kajian yang mengevaluasi “Prophetic Law” dengan kerangka falsifikasi, meskipun pada akhirnya menyimpulkan bahwa banyak klaim keagamaan atau metafisik tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu ilmiah karena tidak falsifiable. [Lihat sumber Disini - journal.uii.ac.id]

Pendekatan ini mendapat perhatian kritis: karena falsifikasi didesain untuk fenomena empiris, penerapan terhadap domain metafisik atau religius sering dianggap problematik, teori mungkin bermakna atau penting secara filosofis, namun tidak memenuhi kriteria demarkasi ilmiah. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]


Kritik, Kelemahan, dan Perluasan Pemikiran

Meskipun falsifikasi telah menjadi fondasi penting dalam filsafat ilmu modern, pendekatan ini, termasuk yang dikembangkan Popper, mendapat sejumlah kritik dan catatan penting:

- Masalah metodologis dalam praktik: Meskipun secara logika satu counter-instance (kontradiksi) sudah cukup untuk menyanggah universal law, dalam praktik ilmiah sering sulit memastikan bahwa “pengamatan sanggahan” benar-benar sah (bebas bias, bebas kesalahan pengukuran, bebas dari asumsi ad hoc). Oleh karena itu, teori kadang tetap dipertahankan meskipun ada anomali. [Lihat sumber Disini - plato.stanford.edu]

- Batas aplikasi untuk ilmu non-empiris: Prinsip falsifikasi paling cocok untuk ilmu empiris (fisik, biologis, eksperimental). Ketika diaplikasikan ke hukum, etika, agama, atau metafisika, klaim seringkali bersifat normatif atau konseptual, sehingga sulit dijadikan hipotesis empiris. Itu membuat kriteria falsifikasi tidak selalu relevan di semua domain. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]

- Kritik terhadap dogma “tidak ada kebenaran final”: Bagi sebagian pemikir, pandangan Popper bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran absolut bisa dianggap pesimis, padahal dalam beberapa teori, meskipun bersifat sementara, konsensus luas dan bukti empiris kuat memungkinkan kita mempercayai teori tersebut sebagai “paling dekat dengan kebenaran”.

- Tantangan dari probabilitas dan statistika: Perkembangan ilmu statistika dan probabilitas menunjukkan bahwa dukungan empiris terhadap teori bisa dinilai secara kuantitatif (kemungkinan, likelihood, konfirmasi bersyarat, dsb.), bukan semata-mata falsifikasi biner. Sejumlah peneliti modern menunjukkan bahwa pandangan Popper mungkin perlu dilengkapi dengan pendekatan probabilistik, terutama ketika data dan variabilitas alami sulit dipatok sebagai falsifier tunggal. [Lihat sumber Disini - arxiv.org]

- Adanya teori ad hoc: Terkadang teori bisa “diselamatkan” dari falsifikasi dengan menambahkan asumsi auxiliary atau modifikasi, hal ini membuat teori tetap bertahan meskipun prediksi awalnya gagal, sehingga teori menjadi tidak falsifiable secara praktis. Ini mengurangi ketegasan kriteria falsifikasi. [Lihat sumber Disini - iep.utm.edu]


Kesimpulan

Prinsip falsifikasi dari Karl Popper memberikan kontribusi besar terhadap cara kita memahami dan menilai ilmu pengetahuan. Dengan menggeser fokus dari verifikasi ke penyangkalan – dari pembuktian kebenaran ke pengujian kemungkinan kesalahan, falsifikasi menekankan bahwa teori ilmiah adalah hipotesis sementara yang terbuka terhadap revisi.

Melalui falsifikasi, sains memperoleh karakter dinamis: teori tidak diangkat sebagai kebenaran absolut, melainkan terus diuji, dikritik, dan diperbaiki. Pendekatan ini juga menjadi alat demarkasi penting antara sains empiris dengan klaim metafisik, normatif, atau dogmatis.

Namun demikian, falsifikasi bukan tanpa batasan. Metode ini paling cocok untuk ilmu empiris, dan memiliki banyak tantangan dalam praktik, dari masalah metodologis, observasi yang ambigu, hingga potensi penyelamatan teori melalui asumsi ad hoc. Ditambah lagi, perkembangan dalam statistika dan metodologi modern menuntut pelengkap atau penyempurnaan terhadap falsifikasi tradisional.

Dengan demikian, falsifikasi sebaiknya dipandang sebagai fondasi penting dalam filsafat ilmu, namun bukan satu-satunya alat. Untuk membangun pengetahuan yang kuat, kita perlu mengombinasikannya dengan metode ilmiah lain: empirisme, analisis statistik, logika kritis, dan epistemologi terbuka terhadap revisi.

 

Artikel ini ditulis dan disunting oleh tim redaksi SumberAjar.com berdasarkan referensi akademik Indonesia.

Pertanyaan Umum (FAQ)

Falsifikasi menurut Karl Popper adalah prinsip bahwa suatu teori ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi dibuktikan salah. Teori dianggap ilmiah jika bisa menghasilkan prediksi yang dapat diuji secara empiris dan memiliki kemungkinan disangkal oleh data.

Falsifikasi penting karena membantu membedakan teori ilmiah dan non-ilmiah, menjaga integritas proses ilmiah, serta mendorong perkembangan pengetahuan melalui pengujian yang kritis terhadap teori.

Verifikasi berfokus pada pembuktian bahwa teori benar melalui dukungan observasi, sedangkan falsifikasi berfokus pada pencarian bukti yang dapat menolak teori. Menurut Popper, verifikasi tidak pernah cukup untuk membuktikan teori universal, tetapi falsifikasi dapat menunjukkan teori itu salah.

Tidak semua teori bisa difalsifikasi. Teori metafisika, normatif, atau religius umumnya tidak dapat diuji secara empiris sehingga tidak memenuhi kriteria falsifiability, meskipun tetap memiliki nilai filosofis atau moral.

Dalam penelitian, falsifikasi diterapkan dengan merumuskan hipotesis yang jelas, spesifik, dan dapat diuji. Peneliti kemudian melakukan pengujian empiris untuk mencari bukti yang dapat menolak hipotesis tersebut, bukan sekadar mencari pembenarannya.

Home
Kamus
Cite Halaman Ini