Terakhir diperbarui: 27 October 2025

Citation (APA Style):
Davacom. (2025, 27 October 2025). Falsifikasi: Pengertian, Fungsi, dan Contohnya dalam Filsafat Ilmu. SumberAjar. Retrieved 12 November 2025, from https://sumberajar.com/kamus/falsifikasi-pengertian-fungsi-dan-contohnya-dalam-filsafat-ilmu 

Kamu menggunakan Mendeley? Add entry manual di sini.

Falsifikasi: Pengertian, Fungsi, dan Contohnya dalam Filsafat Ilmu

Pendahuluan

Dalam perkembangan filsafat ilmu, persoalan tentang bagaimana ilmu,termasuk teori‐teori ilmiah,dapat dibedakan dari yang bukan ilmu terus menjadi tema penting. Salah satu konsep yang banyak dibahas adalah konsep falsifikasi, yang dikembangkan oleh Karl R. Popper sebagai kriteria keilmiahan. Dengan falsifikasi, Popper menantang pandangan tradisional yang lebih mengandalkan verifikasi atau pembuktian positif sebagai tolok ukur kebenaran teori ilmiah. Melalui pendekatan ini, ilmu dipandang sebagai rangkaian hipotesis yang terbuka untuk diuji dan kemungkinan disangkal, bukan sebagai kumpulan proposisi yang dapat dibuktikan benar secara mutlak. Pendekatan falsifikasi kemudian juga memperoleh relevansi dalam konteks keilmuan Indonesia dan kajian filsafat ilmu kontemporer,mulai dari perdebatan metodologi, kritik terhadap induksi, hingga penerapan dalam ilmu sosial dan humaniora. Artikel ini akan membahas pengertian falsifikasi (secara umum, dalam KBBI, menurut para ahli), fungsi falsifikasi dalam filsafat ilmu, serta contoh‐contohnya dalam ranah filsafat ilmu. Harapannya agar pembaca memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang peranan falsifikasi dan bagaimana konsep ini dapat diaplikasikan dalam aktivitas ilmiah.

Definisi Falsifikasi

Definisi Falsifikasi Secara Umum

Secara etimologis, kata “falsifikasi” berasal dari bahasa Inggris falsification, yang berkaitan dengan kata kerja falsify (“membuat salah / memalsukan”) atau to falsify (“menunjukkan bahwa salah”). Dalam konteks umum, falsifikasi dapat dipahami sebagai tindakan atau proses menunjukkan bahwa suatu pernyataan, teori, hipotesis, atau data dapat dibuktikan salah atau disangkal. Sebagai contoh, dalam sebuah makalah disebutkan bahwa:

“Falsifikasi adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya sesuai dengan hasil observasi atau percobaan, dengan kata lain … ilmu dipandang sebagai satu set hipotesa yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe.” [Lihat sumber Disini]
Jadi, secara sederhana, falsifikasi menekankan kemungkinan penyangkalan sebagai bagian dari struktur teori ilmiah,bukan hanya pembuktian bahwa teori itu benar.

Definisi Falsifikasi dalam KBBI

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “falsifikasi” dapat diartikan sebagai tindakan membuat palsu atau memalsukan. Misalnya dalam konteks data penelitian: pemalsuan atau manipulasi data disebut sebagai “falsifikasi data”. Dalam pengunaan yang wajar, definisi KBBI ini lebih merujuk ke arti “pemalsuan” atau “pengubahan data/pernyataan agar sesuai keinginan”, bukan pengertian filosofis tentang falsifiabilitas. Sebagai contoh, dalam artikel populer disebut bahwa:

“Falsifikasi data: bisa berarti mengubah data sesuai dengan keinginan, terutama agar sesuai dengan simpulan yang ‘ingin’ diambil dari sebuah penelitian.” [Lihat sumber Disini]
Perlu ditegaskan bahwa pengertian KBBI ini berbeda nuansa dengan pengertian dalam filsafat ilmu yang akan kita bahas selanjutnya.

Definisi Falsifikasi Menurut Para Ahli

Berikut beberapa definisi dari para pemikir/kaji akademik yang membahas falsifikasi terutama dalam konteks filsafat ilmu:

  1. Karl R. Popper: Menurut Popper, suatu teori ilmiah hanya layak disebut ilmiah jika ia dapat difalsifikasi (falsifiable), yakni terdapat kemungkinan logis bahwa teori tersebut salah melalui pengamatan atau percobaan empiris. Jika teori tidak memungkinkan untuk disalahkan maka itu bukanlah ilmiah. [Lihat sumber Disini]
  2. Dalam jurnal “Falsifikasi Karl Popper dan Urgensinya dalam Dunia Akademik” disebutkan bahwa falsifikasi berarti: “kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri”. [Lihat sumber Disini]
  3. Menurut artikel “Konsep Hypothetic-Deductive, Verifikasi dan Falsifikasi” definisi falsifikasi: “Falsifiabilitas atau refutabilitas adalah kemungkinan bahwa adanya kemungkinan logis sebuah pernyataan untuk dapat difalsifikasi atau ditunjukkan salah melalui observasi atau uji coba empiris.” [Lihat sumber Disini]
  4. Dari kajian “Falsifikasi Popper dan Relevansinya … mahasiswa” disebut bahwa konsep falsifikasi “menekankan uji coba dan kritik terhadap teori ilmiah untuk kemajuan pengetahuan”. [Lihat sumber Disini]
  5. Dari kajian terhadap filsafat ilmu Indonesia: “Konsep falsifikasi adalah konsep sentral dalam filsafat ilmu yang diperkenalkan oleh Karl Popper.” [Lihat sumber Disini]
    Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa falsifikasi dalam konteks filsafat ilmu berarti: kemungkinan suatu teori untuk disangkal dan uji kritis terhadap teori sebagai bagian dari proses keilmiahan.

Fungsi Falsifikasi dalam Filsafat Ilmu

Dalam ranah filsafat ilmu (philosophy of science), falsifikasi memiliki beberapa fungsi penting yang menegaskan peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut fungsi-fungsinya dijelaskan secara komprehensif:

  1. Fungsi demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu
    Salah satu fungsi utama falsifikasi adalah sebagai kriteria pemisahan antara yang disebut ilmu (science) dan bukan ilmu (non-science atau pseudo-science). Popper menegaskan bahwa teori yang tidak dapat difalsifikasi,yang tidak terbuka untuk diuji atau disanggah,maka bukanlah ilmiah. Dengan kata lain, falsifikasi berfungsi sebagai garis pemisah (demarkasi). [Lihat sumber Disini]
    Misalnya, sebuah teori yang selalu dapat dipertahankan tanpa kemungkinan kegagalan empiris dianggap kurang ilmiah menurut pandangan Popper.
  2. Fungsi sebagai metode kritik dan koreksi ilmiah
    Falsifikasi mendorong ilmuwan atau filsuf untuk melakukan kritik terhadap teori yang ada: menguji, mencoba menemukan kekurangan, kegagalan, atau kondisi yang menyanggah teori tersebut. Dengan demikian ilmu tidak stagnan, melainkan berkembang melalui proses “trial and error” atau “error-elimination”. [Lihat sumber Disini]
    Sebagaimana dikatakan: “semakin suatu teori diuji dan bertahan terhadap penyangkalan, maka semakin kokoh kedudukannya (corroboration)”. [Lihat sumber Disini]
  3. Fungsi epistemologis dalam memperkuat validitas teori
    Dengan menggunakan falsifikasi sebagai syarat, teori ilmiah memperoleh status yang lebih kuat secara epistemologis,karena bukan hanya “dikonfirmasi” berulang kali (yang bisa saja karena observasi terbatas), melainkan telah melewati pengujian kritis yang memungkinkan kesalahannya. Proses ini membantu memastikan bahwa teori bukan sekedar dugaan tanpa risiko. [Lihat sumber Disini]
    Proses ini juga menegaskan bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran mutlak, melainkan hanya “dukungan yang diperkuat” (corroborated) sementara. [Lihat sumber Disini]
  4. Fungsi metodologis dalam pengembangan ilmu pengetahuan
    Dalam praktik penelitian ilmu, falsifikasi memberikan metodologi bahwa pengajuan hipotesis harus disertai kemungkinan diuji dan disangkal. Ini berbeda dengan hanya mencari pengamatan yang mendukung hipotesis (verifikasi). Dengan demikian, falsifikasi mengarahkan peneliti untuk merancang eksperimen atau observasi yang berisiko gagal, bukan hanya yang memvalidasi. [Lihat sumber Disini]
    Dengan demikian, ilmu menjadi aktif , tidak hanya mengumpulkan data yang mendukung, tetapi juga mencari celah/counter‐evidence.
  5. Fungsi filosofis dalam menjaga sikap kritis dan reflektif
    Lebih jauh, falsifikasi mengandung nilai filosofis bahwa ilmu dan teori harus bersifat terbuka, provisional (sementara), dan bersedia menerima revisi. Ini menumbuhkan sikap kritis, kerendahan hati intelektual, dan pertumbuhan pengetahuan yang dinamis. Sebagai contoh, dalam kajian Indonesia disebut bahwa falsifikasi dapat menjadi “pedoman memahami informasi di media sosial secara objektif”, dengan makna bahwa kita harus siap bahwa opini/teori kita bisa salah dan memerlukan pengujian. [Lihat sumber Disini]

Secara ringkas, fungsi falsifikasi dalam filsafat ilmu tidak hanya teknis (metodologi) tetapi juga normatif dan filosofis: menegaskan batas keilmiahan, mengarahkan penelitian, memperkuat validitas teori, dan membina sikap ilmiah yang terbuka terhadap kritik.

Contohnya dalam Filsafat Ilmu

Untuk membuat konsep falsifikasi lebih konkret dalam konteks filsafat ilmu, berikut beberapa contoh penerapan atau ilustrasi:

  1. Teori angsa putih / angsa hitam
    Dalam banyak literatur falsifikasi dijelaskan kasus klasik bahwa selama ratusan tahun mayoritas orang Eropa percaya bahwa “semua angsa berwarna putih” karena pengamatan hanya menemukan angsa putih. Namun ketika ditemukan angsa hitam di sungai Victoria-Australia, keyakinan tersebut runtuh. Dalam bahasa Popper, rumusan “semua angsa berwarna putih” dapat difalsifikasi (jika ada satu angsa hitam), maka masuk kriteria teori ilmiah; sedangkan rumusan yang tidak dapat diuji demikian bukan ilmiah. [Lihat sumber Disini]
    Ini menunjukkan bahwa keilmiahan bergantung pada potensi kegagalan atau disangkal.
  2. Penerapan falsifikasi dalam kajian filsafat ilmu di Indonesia
    Dalam jurnal “Falsifikasi Karl Popper dalam Histiografi Islam” disebut bahwa pemikiran falsifikasi Popper diaplikasikan dalam kajian akademik Islam di Indonesia, dengan menyatakan bahwa teori keilmuan harus mampu diuji dan dikritik bukan hanya diasumsikan benar. [Lihat sumber Disini]
    Contoh spesifik: Suatu hipotesis dalam kajian keislaman yang mengklaim suatu fakta keagamaan harus terbuka untuk diuji dan disanggah, bukan hanya dibela secara dogmatis. Maka konsep falsifikasi membantu menguatkan penalaran ilmiah dan menghindari stagnasi. [Lihat sumber Disini]
  3. Aplikasi dalam penelitian dan pengajaran
    Dalam artikel “Falsifikasi Popper dan Relevansinya pada karakter pembelajaran mahasiswa” disebut bahwa dalam pendidikan tinggi, mahasiswa didorong menggunakan sikap falsifikasi: tidak menerima teori begitu saja, melainkan mempertanyakannya, mencari bukti atau sanggahan. [Lihat sumber Disini]
    Misalnya dalam mata kuliah filsafat ilmu mahasiswa dapat diberikan tugas untuk mengkritisi suatu teori dengan mencari observasi yang dapat menolak teori tersebut,ini adalah penerapan falsifikasi secara langsung.
  4. Contoh negatif: teori yang tidak terbuka untuk falsifikasi
    Sebagai contoh ilustratif: Suatu klaim yang dirancang agar tidak dapat diuji atau disangkal,misalnya “Ada malaikat yang tak bisa dilihat oleh manusia dan pengaruhnya terhadap pikiran manusia sangat besar”,jika tidak ada kondisi empiris yang memungkinkan untuk menyangkal maka menurut Popper teori tersebut kurang ilmiah atau bahkan bisa dikategorikan pseudo-science. Ini menegaskan perbedaan antara teori ilmiah dan nonilmu berdasarkan kriteria falsifikasi. (Penggambaran umum ini diambil dari literatur falsifikasi). [Lihat sumber Disini]
  5. Contoh dalam riset sosial/media
    Sebuah studi Indonesia “Falsifikasi sebagai pedoman memahami informasi di media sosial secara objektif” menunjukkan bahwa teori falsifikasi juga dapat digunakan di luar sains alam,yakni dalam memahami bagaimana informasi di media sosial diuji, disanggah, dan dikritisi agar tidak sekadar diverifikasi oleh keinginan/pendapat semata. [Lihat sumber Disini]
    Contohnya: Sebuah rumusan broad bahwa “media sosial selalu menyebarkan hoaks massal” bisa diuji dengan mencari data yang membantahnya,jika tidak terbuka untuk diuji maka kurang memenuhi spirit falsifikasi.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa poin penting. Pertama, falsifikasi merupakan konsep sentral dalam filsafat ilmu yang menegaskan bahwa teori ilmiah bukan hanya yang dibuktikan benar (verifikasi), tetapi yang terbuka untuk disangkal (falsifiable). Kedua, definisi falsifikasi memiliki dimensi berbeda: secara umum berarti proses menunjukkan kesalahan; dalam KBBI lebih ke pemalsuan; dan menurut para ahli terutama Popper, berorientasi pada kriteria keilmiahan. Ketiga, fungsi falsifikasi sangat luas , mulai dari menegaskan batas antara ilmu dan non-ilmu (demarkasi), mendorong metodologi kritik dan koreksi, memperkuat epistemologi, hingga membina sikap ilmiah yang reflektif. Terakhir, contoh‐contoh penerapan falsifikasi menunjukkan bahwa konsep ini tidak hanya relevan dalam sains alam tetapi juga dalam penelitian sosial, pendidikan, bahkan media informasi. Dengan memahami dan menerapkan falsifikasi, penelitian dan teori dalam ilmu pengetahuan dapat terus terbuka, dinamis, dan berkembang,sebuah karakteristik penting dari ilmu yang sehat. Sebagai rekomendasi, para peneliti, akademisi, dan mahasiswa disarankan untuk mengadopsi sikap terbuka terhadap sanggahan dan kritik, merancang hipotesis yang dapat diuji bukan hanya didukung, dan terus mempertanyakan asumsi yang ada.

 

Artikel ini ditulis dan disunting oleh tim redaksi SumberAjar.com berdasarkan referensi akademik Indonesia.

Pertanyaan Umum (FAQ)

Falsifikasi adalah konsep dalam filsafat ilmu yang diperkenalkan oleh Karl R. Popper, yang menyatakan bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan disangkal. Sebuah teori dianggap ilmiah jika memungkinkan untuk dibuktikan salah melalui observasi atau eksperimen.

Fungsi utama falsifikasi adalah sebagai kriteria pembeda antara ilmu dan non-ilmu, serta sebagai metode kritik ilmiah untuk menguji validitas teori. Melalui falsifikasi, ilmu pengetahuan berkembang karena teori diuji dan diperbaiki secara terus-menerus.

Contoh klasik falsifikasi adalah teori 'semua angsa berwarna putih' yang gugur setelah ditemukan angsa hitam di Australia. Dalam penelitian modern, falsifikasi diterapkan dengan menguji hipotesis agar bisa disangkal, bukan hanya mencari pembenaran.

Tokoh yang memperkenalkan konsep falsifikasi adalah Karl R. Popper, seorang filsuf sains asal Austria-Inggris. Ia menolak pendekatan verifikasi dan menekankan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui proses penyangkalan dan koreksi teori.

Perbedaan utamanya terletak pada cara menguji teori. Verifikasi mencari pembuktian bahwa teori benar melalui pengamatan positif, sedangkan falsifikasi mencari peluang untuk membuktikan teori salah agar ketahanannya dapat diuji secara ilmiah.